Berkelahi Tanpa Menyakiti
Ameng Timbangan,
Menemukan keseimbangan manusia dalam penjara, Raden Anggakusumah mengajarkan pekerti luhur dan menyelaraskan gerak. Hindari kekuatan lawan, alihkan serangan, duduki posisinya. Tapi, jangan sakiti lawan tak berdaya.
Wajah Gending Raspuzi mendadak serius. Tatapannya fokus menghadap lawan. Dengan sigap, lelaki yang akrab disapa Kang Gending itu menepis pukulan yang mengarah wajahnya. Sejurus kemudian, praktisi Ameng Timbangan ini menjatuhkan lawan tanpa melukainya.
Selama ini, memang tak banyak yang mengetahui Ameng Timbangan seperti yang dilakukan Kang Gending. Beladiri asli Bandung ini terkesan tertutup dan jauh dari publikasi. Namun beladiri ini oleh penciptanya tidak dipandang sebagai salah satu aliran pencak silat. Hanya, pandangan umum tetap menganggapnya salah satu aliran pencak silat lain.
Muncul pertama kali di Bandung pada 1927, Ameng Timbangan digagas Raden (Rd.) Anggakusumah, putra Rd. Haji Adra’i, penghulu kepala di Sumedang. Menurut Kang Gending, Rd. Anggakusumah sebelumnya tak pernah belajar pencak silat, juga tak menganut aliran pencak silat yang ada. Jadi, Ameng Timbangan benar-benar temuan orisinal Rd. Anggakusumah sendiri.
Menurut sang cucu, Rd. Darajat Anggakusumah, biasa disapa Kang Aom, Ameng Timbangan memang bukan pencak silat. “Karena timbangan itu prinsipnya untuk menyelamatkan diri. Baik diri sendiri maupun lawan. Makanya, dalam timbangan tak ada pukulan maupun tendangan,” ujarnya.
Ameng Timbangan, tutur Kang Gending, dipelajari dalam beberapa tahapan. Awalnya calon murid harus memahami lebih dulu filosofi Timbangan. Biasanya itu dilakukan lewat dialog dalam beberapa pertemuan. “Saya sendiri tujuh kali bertemu hanya mengobrol saja, tidak juga diajari Timbangan,” kata Kang Gending, murid Rd. Muhyidin Angga kusumah (ayah Kang Aom).
Sekilas, obrolan itu tak penting. Namun sebenarnya itu menjadi salah satu ujian bagi calon murid. Ya, filosofi Timbangan yang dikemas dalam obrolan ringan justru erat berhubungan dengan teknik yang dipelajari. Lewat tanya jawab, seorang guru dapat menilai mental dan moral muridnya.
Lebih jauh, menurut filosofi Rd. Anggakusumah, manusia bakal selamat bila memegang teguh prinsip cageur (sehat jasmani), bageur (berkelakuan baik), dan bener (berbuat benar). Ketiga unsur ini dilengkapi kembali oleh Rd. Muhyidin dengan enam pegangan lain, sehingga menjadi sembilan (sangawedi): Ati-ati (hati-hati), taliti (teliti), gumati (sungguh-sungguh), toweksa (cermat), wiwaha (penuh pertimbangan), dan waspada. Setelah melewati tahap pembinaan mental dan spiritual, barulah para murid diberi pelajaran jasmani.
Menurut Kang Gending, tahap pertama pendekar Timbangan menghadapi lawan adalah bicara dari hati ke hati. Bila kata-kata lemah lembut tidak diterima, dan lawan tetap mengandalkan kekerasan, barulah pendekar Timbangan melawan secara jasmani. Kendati, itu hanya untuk menguasai posisi atau kedudukan sedemikian rupa, sehingga lawan sulit menyerang namun mudah diserang. Ini terus menerus dilakukan atau dikuasai, tapi tidak dimanfaatkan untuk menyakiti lawan. Dengan demikian, di pihak lawan, diharapkan timbul kesadaran bahwa pendekar Timbangan tidak bermaksud buruk.
Untuk merebut kedudukan atau posisi ideal, pendekar Timbangan akan memberi kesempatan lawan untuk menyerang. Arus tenaga tidak ditangkis, karena Ameng Timbangan tak menggunakan teknik tangkisan. Namun serangan itu dibelokkan atau dielakkan agar kedudukan lawan menjadi labil. Dalam kondisi labil, pendekar Timbangan segera melakukan penutupan atau perebutan posisi, sesuai tujuan yang dikehendaki.
Toh, untuk melaksanakan taktik yang seakan-akan sangat sederhana itu tetap dibutuhkan keterampilan pelbagai jenis teknik. Seperti, kepekaan rasa yang memungkinkan pendekar Timbangan mampu menangkap atau mengantisipasi dengan cepat, situasi yang sedang dihadapi. Tak cuma itu, ia juga harus punya kecepatan reaksi. Sebagai seni beladiri tanpa kekerasan, dan dalam sasaran strateginya hanya berusaha menempati atau menguasai posisi, unsur kecepatan sangatlah penting.
Setelah itu, ia harus mampu menghitung dan menetapkan jarak dengan lawan. Dengan penguasaan jarak yang tepat, ia dapat mengantisipasi sekaligus menguasai kemungkinan serangan. Penilaian tepat terhadap jarak akan mampu menghindarkan serangan lawan dan merebut kedudukan secara tepat.
Selanjutnya, ia harus mampu mengendalikan tubuh lawan serta seluruh anggota tubuhnya. Untuk itu, dibutuhkan kepekaan rasa dan gerak cukup tinggi. Teknik menempel dan merapat, khusus digunakan untuk perkelahian jarak dekat. Dengan kemampuan menilai sikap dan posisi jasmani seseorang, kita akan mendapatkan gambaran tentang gerakan yang mungkin dilakukan lawan.
Sementara itu, gerakan menyalurkan tenaga lawan berupa penghindaran atau pengalihan lintasan gerak lawan lewat pembelokan, dilakukan dengan tenaga sekadarnya. Adapun melepas kuncian atau cekikan tidak berbeda dengan teknik aliran pencak silat lain. Prinsipnya, tetap menggunakan tenaga sekadarnya namun dengan efektivitas tinggi. Akhirnya, pendekar Timbangan harus dapat menghindari serangan lawan dan berusaha menyalurkannya ke tempat lain, sampai tenaga lawan terkuras dan posisinya labil.
Untuk tahap ini, pendekar harus menguasai beberapa jenis langkah. Misalnya, langkah lurus (maju mundur), serong (maju mundur), menyamping, dan balik arah. Setiap gerakan harus lambat, lembut, dan santai. Setiap perpindahan berat tubuh harus benar-benar dihayati, agar ditemukan rasa keseimbangan. Sehingga, setiap gerak terkesan tanpa arti, kosong, bersih, dan tanpa niat mencelakakan orang lain. Lawan yang menyerang biasanya akan celaka sendiri akibat perbuatannya. Bahkan, pendekar yang telah menghayati Ameng Timbangan justru akan menyelamatkan lawannya agar tidak terjatuh. Kalau toh jatuh, ia akan segera membangunkannya.
Mempelajari beberapa langkah atau kuda-kuda dalam gerak lambat ini dimaksudkan untuk bersiap menghadapi lawan yang mengerahkan beragam jenis kuda-kuda. Mengombinasi langkah-langkah yang telah dipelajari juga sangat penting, agar dapat bergerak terus tanpa canggung, serta berpindah dari satu posisi ke posisi lain.
Mungkin, karena kekhasan ujaran dan jurus itulah perkembangan Ameng Timbangan tidak sepesat aliran pencak silat lain. Itu memang akibat beratnya pendidikan ruhani atau mental spiritual calon murid. Mereka yang tak punya kesabaran dan motivasi tinggi serta mudah bosan, biasanya akan segera meninggalkan Ameng Timbangan. Tapi bagi yang sabar, akan sering diajak guru untuk berdialog.
Selain itu, jurus-jurus Ameng Timbangan tidak terlihat atraktif dan cenderung membosankan. Latihan mengulang gerakan dalam gerak lambat, umumnya tidak begitu diminati kawula muda. Tapi, justru itulah tantangan yang harus dilalui dengan baik agar hasilnya dapat dirasakan dan dihayati.
Seperti gerakan atau seni beladiri lain yang lahir di masa kolonialisme, keberadaan Ameng Timbangan tak luput dari kecurigaan pihak penjajah Belanda. Berkali-kali Belanda mengutus mata-mata untuk mengawasi kegiatannya. Kebetulan, kegiatan awal Ameng Timbangan berupa pembacaan kitab, tak ubahnya pengajian. Mata-mata itu pun menilainya tidak mengkhawatirkan. Padahal, setelah acara membacaan kitab, mereka mulai melakukan gerakan yang sudah tidak lagi diawasi. Bahkan, mata-mata itu akhirnya membelot dan bergabung untuk mempelajari Ameng Timbangan, karena menurutnya memang bermaksud baik.
Dari segi geraknya, banyak kalangan menilai Ameng Timbangan mirip Taichi, seni beladiri asal China. “Sewaktu belajar Timbangan, saya juga sengaja belajar Taichi. Saya ingin buktikan apakah keduanya saling terkait satu sama lain. Ternyata tidak,” ungkap Kang Gending. Kalau toh prinsipnya sama (mengajarkan keseimbangan), namun dalam Timbangan, keseimbangan yang dibutuhkan bukan cuma fisik, tapi juga mental. Itulah pekerti luhur jasmani ruhani yang diinginkan penggagas Ameng Timbangan.
Menemukan Keseimbangan dalam Penjara
Semasa muda, Rd. Anggakusumah aktif dalam organisasi politik Syarikat Islam, Bandung. Sikap kritisnya terhadap kondisi sosial politik kala itu membuatnya ditangkap aparat Belanda dan dijebloskan ke penjara Banceuy, 1919. Di situ , ia banyak bergaul dan berdiskusi dengan tokoh pergerakan lain.
Hasilnya, tercetus gagasan untuk menyelamatkan manusia dalam kehidupan fana ini. Rd. Anggakusumah menyimpulkan, segala sesuatu di dunia ini selalu berada dalam harmoni atau keseimbangan. Hasil renungannya dibukukan dalam tiga kitab berbahasa Sunda, yang ditulisnya dalam bentuk guguritan (tembang): Gurinda Alam Rohani Majaji (Guaroma), Imam Bener Tetengger Allah (Ibtat), dan Sareat, Tarekat, Hakekat, Makrifat (Satahama). Kitab-kitab itulah yang dianggap awal terciptanya beladiri Timbangan. Bentuk latihannya masih berupa diskusi antartahanan, demi membentuk kepribadian kuat. Pada perenungan berikutnya, ia menjumpai banyak orang lemah menderita akibat ditindas orang kuat, sekalipun korban berada di pihak yang benar.
Sejak itu, Rd. Anggakusumah mulai memikirkan latihan jasmani sebagai bagian sistem beladiri Timbangan. Ia yakin, seperti alam, gerak tubuh manusia selalu dalam keseimbangan. Tak lama, ia dipindahkan ke penjara Sawah lunto, Sumatera Barat. Di sana, ia disatukan dengan para penjahat dan pembunuh. Di tempat itulah hasil renungannya sempat dipraktikkan untuk melumpuhkan narapidana gila yang mengamuk serta menyadarkan jagoan yang iri.
Nama Timbangan diciptakan Rd. Anggakusumah karena sangat sesuai dengan filosofi yang diyakininya. Timbangan merupakan alat ukur untuk menilai sesuatu, serta menimbang salah dan benar. Ajaran dan ujaran dalam tiga kitab itu hanya dapat dipelajari murid Ameng Timbangan, Namun seperti pengajian umumnya kitab itu dibaca bersama.
Rd. Anggakusumah wafat 1979 dan di makamkan di Nyengseret, Bandung.
Winda Destiana