…Sebilah golok berkelabat dengan cepat, hanya menyisakan kilau’an dari badan golok yang putih, susah diikuti dengan pandangan mata. Membentuk cahaya yang membungkus tubuh pemegangnya, berputar-putar, membacok, mengiris, dari atas kebawah, dari samping ke kanan, terkadang bersembunyi di ketiak, terlipat di tangan dan seterusnya; seperti tarian ular kobra dalam irama terompet. Dan,.. bim salabim..!, golok sudah berpindah dari tangan kanan ke kanan kiri si pemegang golok, tanpa tahu kapan proses perpindahannya, nyaris tidak terlihat ..dan hoplah!..kini sudah berpindah lagi ke tangan kanan sambil dengan lincah bergerak, melangkah ke segala arah mengayunkan jurus-jurus seliwa yang cepat, tangkas dan telengas.
Inilah ilmu golok khas betawi, Golok Seliwa.
Adegan ini bukan terjadi di film, bukan juga dalam cerita silat fiksi; tapi sungguh ada dan nyata, bahkan dapat disaksikan secara langsung pada sebuah acara bertajuk ‘Workshop Golok Seliwa’. Workshop yang berlangsung pada hari minggu yang cerah, 20 Juni 2009, di bilangan Blok S, Jakarta Selatan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Perguruan Golok Seliwa dan Komunitas Sahabat Silat yang biasanya mangkal di dunia maya (www.silatindonesia.com dan www.sahabatsilat.com ). Lokakarya atau workshop yang dihadiri lebih dari 50 orang ini termasuk beberapa anak-anak, memang dimaksudkan untuk mengangkat kembali pencak silat khususnya pencak silat tradisional agar semakin dikenal dan dicintai oleh bangsa Indonesia.
Mereka yang hadir pun berasal dari berbagai kalangan; laki-laki, perempuan, tua-muda, ada yang tertarik pada pencak silat tapi belum ada latar belakang beladiri apapun, professional muda, eksekutif di kantornya, karyawan swasta, pengangguran, pensiunan PNS, ibu rumah tangga, praktisi beladiri, pendekar hingga sesepuh pencak silat; semuanya berbaur dengan akrab, ramah, penuh persahabatan dan tanpa keinginan untuk menonjolkan diri masing-masing.
Tuan rumah pun yaitu Bang Husin, pewaris ilmu Golok Seliwa yang sudah langka ini, terlihat menyapa para tamunya dan berbaur dari satu tamu ke tamu yang lainnya dengan ramah dan penuh kekeluargaan.
Menjadi Tuan di Rumah Sendiri
Acara workshop ini dibuka oleh moderator Mas Ekohadi, mewakili dari Komunitas Sahabat Silat, yang dalam sambutanya memberikan apresiasi pada pencak silat tradisional khususnya Seliwa yang sudah mau membuka diri dan bahkan mengadakan acara workshop untuk kalangan umum ini demi kelestarian pencak silat tradisional khususnya aliran Golok Seliwa .
(Dalam pict4, paling kiri berbaju putih : Ekohadi sedang membuka acara.
Pada pict 5, dari kiri Bang Edwel pendekar silek harimau, di tengah Bang Husin dan yang paling kanan adalah Pak Bambang Sarkoro)
Setelah itu sambutan juga diberikan oleh Pak Bambang Sarkoro, selaku sesepuh dari Komunitas Sahabat Silat, yang mengungkapkan bahwa keberadaan kita semua (komunitas sahabat silat, dll) adalah karena keprihatinan atas nasib, silat tradional khususnya, yang semakin tersisih bahkan nyaris punah serta kurang dikenal oleh generasi penerusnya. Padahal pencak silat, selain warisan mulia dari leluhur yang harus dilestarikan, memiliki demikian banyak kekayaan budaya dan aspek pembanguan jiwa manusia; mulai dari aspek fisik, olahraga, mental spiritual, seni budaya dan juga kecerdasan-kecerdasan lainnya. “Tujuan kita adalah agar pencak silat menjadi tuan di rumahnya sendiri! Dengan semakin dikenal dan dicintai oleh kaum mudanya”, demikian Pak Bambang menegaskan sambutannya.
Asal Usul Seliwa
Dalam perbincangan informal penulis, sebelum acara dimulai, Bang Husin membeberkan tentang ilmu Golok Seliwa yang langka ini. Menurut Bang Husin, salah satu sebab mengapa nama Seliwa dipakai adalah karena kebanyakan gerakan terakhir dalam jurus ilmu golok ini berakhir dengan Seliwa yaitu posisi kaki kiri didepan dengan tangan kanan di depan (posisi menyilang antara tangan dan kaki). Bang Husin sendiri mendapatkan ilmu ini dari keluarganya, yaitu dari ayahnya (babe—istilah betawi), Bpk Husni Embot. Sejak usia 15 tahun dia digembleng oleh babenya untuk ilmu Golok Seliwa dan beladiri tradisional lainnya; setelah itu dia juga sempat disuruh oleh ayahnya untuk berguru pada beberapa pihak lainnya. Babe’nya ini belajar dari kakek (engkong)-nya. Soal siapa guru di atas kakek’nya, Bang Husin sendiri mengaku tidak begitu tahu. Karena memang dulu waktu belajar tidak begitu banyak dikupas soal sejarah keilmuan aliran ini. Hingga praktis silsilah kelimuan berhenti di dua generasi di atas Bang Husin. Untuk saat ini praktis dapat dikatakan bahwa Bang Husin seoranglah yang masih memegang dan menguasai ilmu Golok Seliwa.
(Ket : pict 6 tampak Bang Edwin di sebelah kanan dan Mas Harjanto di sebelah kiri sedang memperagakan ilmu Golok Seliwa..
Pada pict 7 ; tampak Mas Rudy yg baru belajar 3 bulan bermaen golok)
Bang Husin lalu bertutur bahwa ilmu ini ya “maen golok”. Karena memang pelajaran untuk peguasaan golok adalah yang utama. Namun demikian pada tahap awal tetap saja akan diajarkan terlebih dahulu ilmu tangan kosong beberapa jurus, sebagai dasar dari permainan Golok Seliwa. Setelah menguasai jurus tangan kosong, murid baru diperbolehkan memegang golok dalam berlatih.
Untuk ukuran golok bagi seorang murid haruslah disesuaikan dengan murid itu sendiri. “Panjangnya satu jengkal masing-masing, ditambah 3 jari (direndeng). Itu untuk badan golok saja, tidak termasuk gagangnya”, kata Bang Husein. Ketika menjelaskan pentingnya ukuran golok yang sesuai untuk masing-masing murid. Hal ini dimaksudkan agar ketika bermain golok, senjata tajam ini tidak melukai pemainnya, karena ukuran panjang yang berlebih, ketika misalnya golok dilipat oleh tangan atau dilipat ke ketiak. Lebih bagus lagi, lanjut Bang Husin, jika goloknya benar pembuatannya yaitu lebih berat berada di bagian depan golok (dekat ujungnya) dan bukan di gagang. Inilah kekhasan golok betawi. Nantinya, ujar bang Husin, setelah menguasai ilmu ini dengan golok yang sesuai dengan kondisi masing-masing ini –istilahnya sudah mengenal sifat golok—akan lebih mudah memainkan beragam jenis dan panjang golok. “Asal kita sudah tahu dan kenal dengan sifat golok”, tandas Bang Husin.
Makna Seliwa
Dalam workshop, pada acara pemaparan tentang ilmu golok seliwa , murid senior Perguruan Golok Seliwa, Bang Edwin mengungkapkan lebih dalam mengenai makna dari seliwa .
Seliwa ternyata memiliki banyak arti yang mendalam. Pertama-tama, seliwa menunjukkan posisi fisik/tubuh yang menyilang antar tangan dan kaki. Misalnya kaki kiri di depan maka tangan kanan di depan dalam sikap pasang atau pukulan; demikian juga sebaliknya. Bahkan posisi salah satu tangan yang terbuka dan salah satunya menutup pun sudah dapat dikategorikan sebagai seliwa.
Seliwa juga dapat berarti tenaga yang bersilang. Misalnya dalam posisi kuda-kuda dengan kaki kanan dan tangan di depan; tumpu kekuatan tenaga ada di kaki kiri dan tangan kanan, ini juga sudah seliwa. Arah tenaga/energi yang berlawanan.
Arah yang hendak dituju juga dapat dimaknai sebagai seliwa jika untuk mencapainya tidak langsung (lurus) ke sasaran namun berputar, secara tidak langsung, melingkar atau ke bawah dulu baru ke atas, dan seterusnya. Tidak linier dan tidak satu arah tapi kaya akan berbagai kemungkinan arah. Dan yang terakhir seliwa dalam rasa. Rasa ke dalam diri dulu baru rasa ke luar diri.
Secara ringkas ada hal prinsip beladiri dalam ilmu Golok Seliwa yaitu amankan dulu (diri/posisi), bongkar dan habiskan. Penerapannya memang lebih mudah dilihat dalam praktek. Semisal ada lawan yang memegang leher kita, maka kita amankan dulu diri/leher kita, bongkar cekikaknya dan habiskan lawannya. Dalam prakteknya biasanya tiga hal ini bahkan dapat terjadi dalam satu gerakan saja.
Jurus Seliwa
Untuk jurus dalam Seliwa, antara lain, ada yang namanya Pu’un (pohon) ada 6, jurus kembang ada 6; dan jurus gabungan ada 1; termasuk cara memegang senjata pada berbagai posisi, mencabut golok dari sarungnya, cara memutar, melipat, menyerang, berpindah tangan dan memulangkan kembali golok ke sarungnya tanpa melihat proses ini dengan pandangan mata.
Dalam setiap Jurus terkandung 8 unsur yaitu :
1. Sikap badan menghadap lurus (percaya pada yang Satu, untuk Satu Tujuan, dll);
2. ada 2 bentuk tenaga yaitu tenaga.kosong dan isi (atau kombinasi setengah setengah)..dengan ibarat: kalau suami keluar rumah, harus meninggalkan bekal di rumah agar ar anak istri tidak kelaperan..
3. ada 3 wadah yang berisi tenaga yaitu .kaki, badan, tangan
4. ada 4 cara tata cara pergerakan yakni: gerak hati, gerak badan, gerak kaki, gerak tangan dan ada 4 arah sasaran dasar.
5. 4+1 gerak golok untuk 4 sehat 5 sempurna;
6. Puun dan kembang masing memiliki 6 jurus;
7. Setiap jurus Puun ada 7 langkah..
8. Sampurna…(bulet semua sisi kayak angka 8 ini)
Dalam belajar ilmu golok seliwa para praktisinya memang diminta untuk bersikap seperti bayi yang baru lahir; menyimpan dulu semua konsep/ketrampilanlainnya dan bersedia mengikuti contoh, bimbingan serta arahan dari perguruan. Kendari demikian, pada proses selanjutnya olah pikir juga akan mulai diterapkan dalam praksis beladiri atau permainan golok. Dilanjutkan dengen olah rasa ; dengan mengenal rasa, dan segala pernik-perniknya; yang kesemua hal ini diharapkan akan menumbuhkan kebijaksanaan yaitu niat yang luhur dan murni dari hati.
Golok adalah bagian dari Diri
Berbeda dengan kebanyakan konsep dalam beladiri lainnya. Senjata (golok) dalam Seliwa bukanlah perpanjangan dari tangan. Golok adalah bagian dari badan, bagian dari diri kita. Sehingga diharapkan bermain golok adalah bagian dari diri dengan segala atributnya.
Untuk lebih menjelaskan lagi konsep ini; Bang Edwin pun memberi contoh langsung pada peserta workshop. Katakanlah ada sebuah situasi dimana tangan kita yang memegang golok dapat dipegang dan dikunci oleh lawan sehingga menjadi ‘mati’ dalam makna beladiri. Karena golok adalah bagian tubuh praktisinya; maka bagian tubuh lainnya dapat membantu untuk meng’hidup’kan kembali golok dengan melakukan baik serangan balasan ataupun bongkar’an terhadap diri lawannya. Dengan demikian karena golok adalah satu kesatuan dengan tubuh atau dapat dikatakan sebagai bagian dari diri; maka interaksi dan juga gerakan golok juga tergantung dari pohon/tubuh atau diri praktisinya. Tidak peduli jika tangan praktisinya sudah ‘mati’ terkunci, selama masih ada bagian diri yang bisa meng’hidup’kan atau selama pu’un atau diri/badan masih bisa hidup maka selama itu pula golok Seliwa akan bisa tetap bisa ‘hidup’.
Praktek ber-golok
Tidak hanya mendengar ulasan tentang Seliwa ataupun sekedar melihat para praktisi seliwa memainkan golok; peserta workshop diajak untuk merasakan langsung keampuhan permainan golok ala Seliwa. Acara ini dilakukan selepas istirahan siang dan bertempat di lantai 2 tempat pertemuan tersebut yang adalah sebuah Madrasah Haji Tajjudin bin Haji Syahroni.
Latihan ini pun dimulai dengan pengenalan dan praktek jurus tangan kosong dari Suliwa yang dicontohkan langsung oleh Bang Husin, dengan didampingi oleh para murid seniornya yaitu Bang Edwin, Mas Harjanto Pramono/ipam, Bang Janu, Mas Rudy, dan masih banyak senior lainnya; yang penulis sendiri kurang hapal namanya J –sorry ya–. Terlihat semua peserta tampak antusias dalam menjalankan jurus-demi jurus tangan kosong.
Memang jurus dalam seliwa yang diberikan memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Bang Husin sendiri sempat memainkan beberapa jurus sebagai contoh. Terlihat gerakannya sangat cepat, tegas tapi lentur dan siap dengan banyak kemungkinan perubahan. Seorang anggota Seliwa membisiki penulis bahwa kekhasan Golok Seliwa diantaranya adalah permainan goloknya yag cepat dan tegas ini, serta perpindahan golok ke tangan yang lainnya (kanan/kiri) yang tidak terlihat atau nyaris tidak dapat terdeteksi oleh penonton, berikut cara memasukkan golok ke sarungnya yang dilakukan dengan mengandalkan rasa dengan tanpa melihat ke golok/sarung.
Dan tibalah saatnya untuk berlatih golok berdasarkan jurus tangan ksong tadi. Penulis sendiri sebetulnya tidak biasa memegang golok dan ada rasa ‘ngeri dan seram’ jika memegang atau melihat golok di tangan orang lain. Hal ini mungkin dirasakan juga oleh sebagian peserta yang belum memiliki latar belakang beladiri. Dalam memandang golok memang agak menakutkan.
Namun seiring berjalannya waktu terlihat bahwa memang dalam ilmu seliwa, golok adalah maen golok. Jadi peserta memang seakan begitu asyik bermain-main dengan golok walaupun golok yang penulis pegang hanyalah golok tumpul ; karena belum berani memegang golok yang tajam; seperti miliki mas rudy alias keentup tawon yang mampu mengiris kertas dengan hasil yang sama dihasilkan oleh ketajaman silet…wuiihhh…bagi penulis memang masih terasa agak mendebarkan jantung.
Lama kelamaan golok (tumpul J ) tidak lagi menakutkan malah menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk diolah, digerakan dan mulai mendapat bayangan dengan apa yang dimaksud dengen golok adalah bagian dari tubuh; bahwa seliwa adalah maen golok.
Latihan tidak hanya melibatkan golok, salah seorang murid senior Bang Husin yaitu Mas Harjanto (alias ipam atawa mantrijeron, betul gak ni namanya?—maaf ya kalo salah) berbaik hati berbagi satu dua teknik pisau ; langsung dalam sebuah aplikasi praktis menghadapi serangan pisau dan melakukan serangan dengan pisau.
Penutup
Menjelang sore acarapun disudahi dengan harapan terus bergelora untuk semakin melestarikan budaya luhur bangsa pencak silat tradisional. Sebab memang sebagai bangsa Indonesia, kurang lengkap rasanya jika belum mengenal dan mencintai budayanya sendiri, pencak silat.
Jangan mengaku orang Indonesia kalau belum kenal pencak silat!…:)
Kenalilah pencak silat walau hanya satu jurus.
“Satu Jurus, Satu Hari”, untuk kelestarian budaya bangsa, warisan mulia dari leluhur kita ini. Inilah salah satu bukti nyata bahwa kita mencintai bangsa Indonesia,
mencintai tanah air dan tumpah darah Indonesia..
Jakarta,
24 juni 2009
Ian Samsudin
www.silatindonesia.com
Inilah ilmu golok khas betawi, Golok Seliwa.
Adegan ini bukan terjadi di film, bukan juga dalam cerita silat fiksi; tapi sungguh ada dan nyata, bahkan dapat disaksikan secara langsung pada sebuah acara bertajuk ‘Workshop Golok Seliwa’. Workshop yang berlangsung pada hari minggu yang cerah, 20 Juni 2009, di bilangan Blok S, Jakarta Selatan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Perguruan Golok Seliwa dan Komunitas Sahabat Silat yang biasanya mangkal di dunia maya (www.silatindonesia.com dan www.sahabatsilat.com ). Lokakarya atau workshop yang dihadiri lebih dari 50 orang ini termasuk beberapa anak-anak, memang dimaksudkan untuk mengangkat kembali pencak silat khususnya pencak silat tradisional agar semakin dikenal dan dicintai oleh bangsa Indonesia.
Mereka yang hadir pun berasal dari berbagai kalangan; laki-laki, perempuan, tua-muda, ada yang tertarik pada pencak silat tapi belum ada latar belakang beladiri apapun, professional muda, eksekutif di kantornya, karyawan swasta, pengangguran, pensiunan PNS, ibu rumah tangga, praktisi beladiri, pendekar hingga sesepuh pencak silat; semuanya berbaur dengan akrab, ramah, penuh persahabatan dan tanpa keinginan untuk menonjolkan diri masing-masing.
Tuan rumah pun yaitu Bang Husin, pewaris ilmu Golok Seliwa yang sudah langka ini, terlihat menyapa para tamunya dan berbaur dari satu tamu ke tamu yang lainnya dengan ramah dan penuh kekeluargaan.
Menjadi Tuan di Rumah Sendiri
Acara workshop ini dibuka oleh moderator Mas Ekohadi, mewakili dari Komunitas Sahabat Silat, yang dalam sambutanya memberikan apresiasi pada pencak silat tradisional khususnya Seliwa yang sudah mau membuka diri dan bahkan mengadakan acara workshop untuk kalangan umum ini demi kelestarian pencak silat tradisional khususnya aliran Golok Seliwa .
(Dalam pict4, paling kiri berbaju putih : Ekohadi sedang membuka acara.
Pada pict 5, dari kiri Bang Edwel pendekar silek harimau, di tengah Bang Husin dan yang paling kanan adalah Pak Bambang Sarkoro)
Setelah itu sambutan juga diberikan oleh Pak Bambang Sarkoro, selaku sesepuh dari Komunitas Sahabat Silat, yang mengungkapkan bahwa keberadaan kita semua (komunitas sahabat silat, dll) adalah karena keprihatinan atas nasib, silat tradional khususnya, yang semakin tersisih bahkan nyaris punah serta kurang dikenal oleh generasi penerusnya. Padahal pencak silat, selain warisan mulia dari leluhur yang harus dilestarikan, memiliki demikian banyak kekayaan budaya dan aspek pembanguan jiwa manusia; mulai dari aspek fisik, olahraga, mental spiritual, seni budaya dan juga kecerdasan-kecerdasan lainnya. “Tujuan kita adalah agar pencak silat menjadi tuan di rumahnya sendiri! Dengan semakin dikenal dan dicintai oleh kaum mudanya”, demikian Pak Bambang menegaskan sambutannya.
Asal Usul Seliwa
Dalam perbincangan informal penulis, sebelum acara dimulai, Bang Husin membeberkan tentang ilmu Golok Seliwa yang langka ini. Menurut Bang Husin, salah satu sebab mengapa nama Seliwa dipakai adalah karena kebanyakan gerakan terakhir dalam jurus ilmu golok ini berakhir dengan Seliwa yaitu posisi kaki kiri didepan dengan tangan kanan di depan (posisi menyilang antara tangan dan kaki). Bang Husin sendiri mendapatkan ilmu ini dari keluarganya, yaitu dari ayahnya (babe—istilah betawi), Bpk Husni Embot. Sejak usia 15 tahun dia digembleng oleh babenya untuk ilmu Golok Seliwa dan beladiri tradisional lainnya; setelah itu dia juga sempat disuruh oleh ayahnya untuk berguru pada beberapa pihak lainnya. Babe’nya ini belajar dari kakek (engkong)-nya. Soal siapa guru di atas kakek’nya, Bang Husin sendiri mengaku tidak begitu tahu. Karena memang dulu waktu belajar tidak begitu banyak dikupas soal sejarah keilmuan aliran ini. Hingga praktis silsilah kelimuan berhenti di dua generasi di atas Bang Husin. Untuk saat ini praktis dapat dikatakan bahwa Bang Husin seoranglah yang masih memegang dan menguasai ilmu Golok Seliwa.
(Ket : pict 6 tampak Bang Edwin di sebelah kanan dan Mas Harjanto di sebelah kiri sedang memperagakan ilmu Golok Seliwa..
Pada pict 7 ; tampak Mas Rudy yg baru belajar 3 bulan bermaen golok)
Bang Husin lalu bertutur bahwa ilmu ini ya “maen golok”. Karena memang pelajaran untuk peguasaan golok adalah yang utama. Namun demikian pada tahap awal tetap saja akan diajarkan terlebih dahulu ilmu tangan kosong beberapa jurus, sebagai dasar dari permainan Golok Seliwa. Setelah menguasai jurus tangan kosong, murid baru diperbolehkan memegang golok dalam berlatih.
Untuk ukuran golok bagi seorang murid haruslah disesuaikan dengan murid itu sendiri. “Panjangnya satu jengkal masing-masing, ditambah 3 jari (direndeng). Itu untuk badan golok saja, tidak termasuk gagangnya”, kata Bang Husein. Ketika menjelaskan pentingnya ukuran golok yang sesuai untuk masing-masing murid. Hal ini dimaksudkan agar ketika bermain golok, senjata tajam ini tidak melukai pemainnya, karena ukuran panjang yang berlebih, ketika misalnya golok dilipat oleh tangan atau dilipat ke ketiak. Lebih bagus lagi, lanjut Bang Husin, jika goloknya benar pembuatannya yaitu lebih berat berada di bagian depan golok (dekat ujungnya) dan bukan di gagang. Inilah kekhasan golok betawi. Nantinya, ujar bang Husin, setelah menguasai ilmu ini dengan golok yang sesuai dengan kondisi masing-masing ini –istilahnya sudah mengenal sifat golok—akan lebih mudah memainkan beragam jenis dan panjang golok. “Asal kita sudah tahu dan kenal dengan sifat golok”, tandas Bang Husin.
Makna Seliwa
Dalam workshop, pada acara pemaparan tentang ilmu golok seliwa , murid senior Perguruan Golok Seliwa, Bang Edwin mengungkapkan lebih dalam mengenai makna dari seliwa .
Seliwa ternyata memiliki banyak arti yang mendalam. Pertama-tama, seliwa menunjukkan posisi fisik/tubuh yang menyilang antar tangan dan kaki. Misalnya kaki kiri di depan maka tangan kanan di depan dalam sikap pasang atau pukulan; demikian juga sebaliknya. Bahkan posisi salah satu tangan yang terbuka dan salah satunya menutup pun sudah dapat dikategorikan sebagai seliwa.
Seliwa juga dapat berarti tenaga yang bersilang. Misalnya dalam posisi kuda-kuda dengan kaki kanan dan tangan di depan; tumpu kekuatan tenaga ada di kaki kiri dan tangan kanan, ini juga sudah seliwa. Arah tenaga/energi yang berlawanan.
Arah yang hendak dituju juga dapat dimaknai sebagai seliwa jika untuk mencapainya tidak langsung (lurus) ke sasaran namun berputar, secara tidak langsung, melingkar atau ke bawah dulu baru ke atas, dan seterusnya. Tidak linier dan tidak satu arah tapi kaya akan berbagai kemungkinan arah. Dan yang terakhir seliwa dalam rasa. Rasa ke dalam diri dulu baru rasa ke luar diri.
Secara ringkas ada hal prinsip beladiri dalam ilmu Golok Seliwa yaitu amankan dulu (diri/posisi), bongkar dan habiskan. Penerapannya memang lebih mudah dilihat dalam praktek. Semisal ada lawan yang memegang leher kita, maka kita amankan dulu diri/leher kita, bongkar cekikaknya dan habiskan lawannya. Dalam prakteknya biasanya tiga hal ini bahkan dapat terjadi dalam satu gerakan saja.
Jurus Seliwa
Untuk jurus dalam Seliwa, antara lain, ada yang namanya Pu’un (pohon) ada 6, jurus kembang ada 6; dan jurus gabungan ada 1; termasuk cara memegang senjata pada berbagai posisi, mencabut golok dari sarungnya, cara memutar, melipat, menyerang, berpindah tangan dan memulangkan kembali golok ke sarungnya tanpa melihat proses ini dengan pandangan mata.
Dalam setiap Jurus terkandung 8 unsur yaitu :
1. Sikap badan menghadap lurus (percaya pada yang Satu, untuk Satu Tujuan, dll);
2. ada 2 bentuk tenaga yaitu tenaga.kosong dan isi (atau kombinasi setengah setengah)..dengan ibarat: kalau suami keluar rumah, harus meninggalkan bekal di rumah agar ar anak istri tidak kelaperan..
3. ada 3 wadah yang berisi tenaga yaitu .kaki, badan, tangan
4. ada 4 cara tata cara pergerakan yakni: gerak hati, gerak badan, gerak kaki, gerak tangan dan ada 4 arah sasaran dasar.
5. 4+1 gerak golok untuk 4 sehat 5 sempurna;
6. Puun dan kembang masing memiliki 6 jurus;
7. Setiap jurus Puun ada 7 langkah..
8. Sampurna…(bulet semua sisi kayak angka 8 ini)
Dalam belajar ilmu golok seliwa para praktisinya memang diminta untuk bersikap seperti bayi yang baru lahir; menyimpan dulu semua konsep/ketrampilanlainnya dan bersedia mengikuti contoh, bimbingan serta arahan dari perguruan. Kendari demikian, pada proses selanjutnya olah pikir juga akan mulai diterapkan dalam praksis beladiri atau permainan golok. Dilanjutkan dengen olah rasa ; dengan mengenal rasa, dan segala pernik-perniknya; yang kesemua hal ini diharapkan akan menumbuhkan kebijaksanaan yaitu niat yang luhur dan murni dari hati.
Golok adalah bagian dari Diri
Berbeda dengan kebanyakan konsep dalam beladiri lainnya. Senjata (golok) dalam Seliwa bukanlah perpanjangan dari tangan. Golok adalah bagian dari badan, bagian dari diri kita. Sehingga diharapkan bermain golok adalah bagian dari diri dengan segala atributnya.
Untuk lebih menjelaskan lagi konsep ini; Bang Edwin pun memberi contoh langsung pada peserta workshop. Katakanlah ada sebuah situasi dimana tangan kita yang memegang golok dapat dipegang dan dikunci oleh lawan sehingga menjadi ‘mati’ dalam makna beladiri. Karena golok adalah bagian tubuh praktisinya; maka bagian tubuh lainnya dapat membantu untuk meng’hidup’kan kembali golok dengan melakukan baik serangan balasan ataupun bongkar’an terhadap diri lawannya. Dengan demikian karena golok adalah satu kesatuan dengan tubuh atau dapat dikatakan sebagai bagian dari diri; maka interaksi dan juga gerakan golok juga tergantung dari pohon/tubuh atau diri praktisinya. Tidak peduli jika tangan praktisinya sudah ‘mati’ terkunci, selama masih ada bagian diri yang bisa meng’hidup’kan atau selama pu’un atau diri/badan masih bisa hidup maka selama itu pula golok Seliwa akan bisa tetap bisa ‘hidup’.
Praktek ber-golok
Tidak hanya mendengar ulasan tentang Seliwa ataupun sekedar melihat para praktisi seliwa memainkan golok; peserta workshop diajak untuk merasakan langsung keampuhan permainan golok ala Seliwa. Acara ini dilakukan selepas istirahan siang dan bertempat di lantai 2 tempat pertemuan tersebut yang adalah sebuah Madrasah Haji Tajjudin bin Haji Syahroni.
Latihan ini pun dimulai dengan pengenalan dan praktek jurus tangan kosong dari Suliwa yang dicontohkan langsung oleh Bang Husin, dengan didampingi oleh para murid seniornya yaitu Bang Edwin, Mas Harjanto Pramono/ipam, Bang Janu, Mas Rudy, dan masih banyak senior lainnya; yang penulis sendiri kurang hapal namanya J –sorry ya–. Terlihat semua peserta tampak antusias dalam menjalankan jurus-demi jurus tangan kosong.
Memang jurus dalam seliwa yang diberikan memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Bang Husin sendiri sempat memainkan beberapa jurus sebagai contoh. Terlihat gerakannya sangat cepat, tegas tapi lentur dan siap dengan banyak kemungkinan perubahan. Seorang anggota Seliwa membisiki penulis bahwa kekhasan Golok Seliwa diantaranya adalah permainan goloknya yag cepat dan tegas ini, serta perpindahan golok ke tangan yang lainnya (kanan/kiri) yang tidak terlihat atau nyaris tidak dapat terdeteksi oleh penonton, berikut cara memasukkan golok ke sarungnya yang dilakukan dengan mengandalkan rasa dengan tanpa melihat ke golok/sarung.
Dan tibalah saatnya untuk berlatih golok berdasarkan jurus tangan ksong tadi. Penulis sendiri sebetulnya tidak biasa memegang golok dan ada rasa ‘ngeri dan seram’ jika memegang atau melihat golok di tangan orang lain. Hal ini mungkin dirasakan juga oleh sebagian peserta yang belum memiliki latar belakang beladiri. Dalam memandang golok memang agak menakutkan.
Namun seiring berjalannya waktu terlihat bahwa memang dalam ilmu seliwa, golok adalah maen golok. Jadi peserta memang seakan begitu asyik bermain-main dengan golok walaupun golok yang penulis pegang hanyalah golok tumpul ; karena belum berani memegang golok yang tajam; seperti miliki mas rudy alias keentup tawon yang mampu mengiris kertas dengan hasil yang sama dihasilkan oleh ketajaman silet…wuiihhh…bagi penulis memang masih terasa agak mendebarkan jantung.
Lama kelamaan golok (tumpul J ) tidak lagi menakutkan malah menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk diolah, digerakan dan mulai mendapat bayangan dengan apa yang dimaksud dengen golok adalah bagian dari tubuh; bahwa seliwa adalah maen golok.
Latihan tidak hanya melibatkan golok, salah seorang murid senior Bang Husin yaitu Mas Harjanto (alias ipam atawa mantrijeron, betul gak ni namanya?—maaf ya kalo salah) berbaik hati berbagi satu dua teknik pisau ; langsung dalam sebuah aplikasi praktis menghadapi serangan pisau dan melakukan serangan dengan pisau.
Penutup
Menjelang sore acarapun disudahi dengan harapan terus bergelora untuk semakin melestarikan budaya luhur bangsa pencak silat tradisional. Sebab memang sebagai bangsa Indonesia, kurang lengkap rasanya jika belum mengenal dan mencintai budayanya sendiri, pencak silat.
Jangan mengaku orang Indonesia kalau belum kenal pencak silat!…:)
Kenalilah pencak silat walau hanya satu jurus.
“Satu Jurus, Satu Hari”, untuk kelestarian budaya bangsa, warisan mulia dari leluhur kita ini. Inilah salah satu bukti nyata bahwa kita mencintai bangsa Indonesia,
mencintai tanah air dan tumpah darah Indonesia..
Jakarta,
24 juni 2009
Ian Samsudin
www.silatindonesia.com